Header Ads

Breaking News
recent

Tampung Tunggakan Tambang Triliunan Rupiah, Pemerintah Kembangkan E-PNBP

RANTAU AMMAN -- Pertambangan merupakan salah satu subsektor yang menyumbang penerimaan terbesar negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat PNBP subsektor tersebut mencapai Rp 32,1 triliun pada 2018. Jumlah tersebut merupakan kedua tertinggi dari subsektor minyak dan gas (migas).

Sayangnya, perusahaan pertambangan dengan status Izin Usaha Pertambangan (IUP), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) dan Kontrak Karya (KK) masih banyak yang menunggak PNBP dengan jumlah besar.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Hukumonline, Direktorat Jenderal Minerba menyebut total tunggakan PNBP sektor pertambangan mencapai Rp 4,9 triliun. Tunggakan tersebut terdiri dari tagihan pada 2017 sebesar Rp 2,6 triliun dan tagihan tahun-tahun sebelumnya sekitar Rp 2,3 triliun.

Melihat kondisi tersebut, Kepala Divisi Advokasi dan Jaringan lembaga nirlaba Publish What Your Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho mengimbau agar pemerintah bertindak tegas terhadap perusahaan tambang yang menunggak PNBP. Menurutnya, salah satu penyebab besarnya tunggakkan tersebut akibat lemahnya pengawasan dari Ditjen Minerba sebagai regulator subsektor pertambangan.

“Pengawasan lemah sekaligus minim penegakkan hukum terhadap perusahaan penunggak PNBP,” kata Aryanto saat dihubungi Hukumonline, Rabu (9/5/2018). Baca Juga: ESDM 2017, dari Peningkatan Nilai Tambah Mineral Hingga Pemangkasa Izin

Dia meminta pemerintah segera mempublikasikan daftar perusahaan sekaligus nama pemilik perusahaan penunggak PNBP tersebut. “Publikasikan nama-nama perusahaan yang menunggak PNBP termasuk nama pemiliknya. Sudah saatnya mengejar pemilik sebenarnya dari perusahaan-perusahaan tersebut karena bisa jadi pemilik perusahaan-perusahaan (penunggak) adalah orang yang sama,” kata Aryanto.

Dia mengamati banyaknya perusahaan tambang penunggak PNBP akibat implementasi UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda) yang tidak berjalan baik. UU Pemda ini mewajibkan perpindahan data dari tingkat kabupaten dan kota ke provinsi karena sebagai bentuk peralihan kewenangan pengawasan. “Proses pelimpahan data ini yang tidak clear,” kata Aryanto.

Perusahaan penunggak PNBP tersebut, menurut Aryanto, harus mendapatkan sanksi tegas berupa pencabutan perizinan apabila masih tidak mau memenuhi kewajibannya tersebut. “Misalnya perusahaan tidak dapat izin ekspor dan perizinan lain kalau belum bayar PNBP,” lanjutnya.

PWYP juga pernah mempublikasikan pada 2017 tercatat tunggakan PNBP bersumber dari ribuan pelaku usaha berstatus IUP sekitar Rp 3,949 triliun, PKP2B sekitar Rp 1,1 triliun dan KK sebesar Rp 20,63 miliar. Sebelumnya, tunggakan perusahaan tambang dengan status PKP2B pada 2016 jauh lebih tinggi mencapai Rp 21 triliun.

Beri sanksi

Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan mengatakan pihaknya siap memberi sanksi pencabutan izin operasi kepada perusahaan tambang jika tidak melunasi tunggakan PNBP tersebut. Menurutnya, pelunasan PNBP merupakan salah satu bentuk penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good governance).

“Saya cuma minta public governance-nya dijaga dengan baik. Saya sudah bilang ke Pak Dirjen (Minerba) kalau ada yang punya hutang PNBP harus bayar. Kalau tidak (bayar), semua perizinan tidak dikasih,” kata Jonan seperti dikutip dalam siaran pers Kementerian ESDM, Rabu (9/5/2018).

Guna memudahkan pembayaran PNBP, pemerintah sedang mengembangkan sistem E-PNBP. Dengan sistem tersebut, perusahaan tambang dapat mengetahui nilai dari kewajiban PNBP secara otomatis. Nantinya, seluruh data dan sistem akan dikendalikan Kementerian ESDM. E-PNBP tersebut juga akan diintegrasikan dengan Sistem Informasi PNBP Online (Simponi) yang dikelola Kementerian Keuangan.

Ketentuan fiskal untuk perusahaan pertambangan memiliki karakteristik yang berbeda-beda sesuai dengan status izin operasinya. PNBP subsektor pertambangan terdiri dari iuran tetap dan royalti yang berlaku dengan status IUP, PKP2B dan KK. Khusus untuk PKP2B berlaku juga Penjualan Hasil Tambang (PHT).

Penerapan iuran tetap bagi IUP dihitung berdasarkan luas wilayah dikalikan tarif yang diatur dalam PP Nomor 9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang berlaku di Kementerian ESDM. Dengan tarif US$ 2 bagi IUP eksplorasi dan US$ 4 bagi IUP Operasi Produksi. Sedangkan iuran tetap bagi KK dan PKP2B perhitungannya berdasarkan luas wilayah dikalikan tarif yang diatur dalam kontrak atau dengan rentang US$ 0,08-4 yang disesuaikan dengan tahapan.

Kewajiban pelunasan PNBP tersebut tertuang dalam UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP. Dalam Pasal 20 regulasi tersebut, perusahaan yang tidak menyampaikan laporan PNBP yang terutang atau menyampaikan laporan PNBP yang terutang tapi tidak benar/tidak lengkap/melampirkan keterangan yang tidak benar/tidak melampirkan keterangan yang benar sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidanan dengan kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak sebesar dua kali dari jumlah PNBP yang terutang. (sumber)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.