Header Ads

Breaking News
recent

Pelajaran dari Kasus Kanjeng Dimas

Banyak tulisan menarik mengenai kasus Dimas Kanjeng yang heboh belakangan ini.

Salah satunya adalah artikel di bawah ini mengenai pelajaran yang diambil dari kasus tersebut.

Setidaknya ada banyak kasus yang mirip Kanjeng ini. Tapi, sering kali luput dari perhatian kecuali setelah ditangani polisi.

Beberapa pelajaran yang penting dari kasus ini adalah:

1. Perlunya majlis ulama atau pihak keagamaan yang berkepentingan selalu 'in touch' dengan masyarakat. Fenomena Kanjeng Dimas ini seharusnya sudah bisa diantisipasi sejak awal.

Banyak tokoh masyarakat yang mempunyai pengikut. Mereka harus dipantau secara berkala oleh MUI dan dilakukan pendekatan dan pembinaan agar tidak menyimpang. Itu seandainya bisa diperbaiki sejak dari awal.

2. Melihat dari segi ekonomi, karena kasus seperti ini sering menyangkut uang, (lihat misalnya kasus Koperasi Langit Biru) pihak OJK atau koperasi bisa mengantisipasi sejak awal dengan melakukan pendekatan dan bantuan manajemen sebelum akhirnya koperasi tersebut ditangani polisi karena kasus investasi fiktif.

3. Kultusisme pernah juga menyangkut Ust Yusuf Mansur dan dugaan kegiatan investasi bodong yang menyangkut namanya. Untung saja, beberapa pihak cepat menyelamatkan dan 'mengingatkan' potensi penyimpangan yang dilakukan sebelum akhirnya terlanjut 'sesat atau bodong' seperti kasus Koperasi Langit Biru dan Kangjeng Dimas ini.

Intinya adalah pembinaan masyarakat sebelum benar-benar sesat harus dilakukan sedini mungkin, khususnya kepada yang mempunyai pengikut yang banyak.

Berikut artikelnya, sumber:

Menarik Pelajaran dari Kisah Marwah Daud Ibrahim dan Taat Pribadi

Belum lama ini kita dikejutkan dengan sosok Taat Pribadi (Dimas Kanjeng) yang mampu melipatgandakan uang dengan hanya dengan duduk dan dibacakan kalimat toyyibah seperti tahlil dan tahmid. Beredar berbagai berita dan video di dunia maya yang menunjukkan kesaktian beliau. Banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat datang ke rumah Dimas Kanjeng di daerah Probolinggo dengan membawa mahar sekian juta rupiah dan berharap uangnya akan berlipat ganda dalam tempo singkat melalui peran ‘orang sakti’ ini. Dari sekian banyak santrinya, ada satu orang yang dikenal sebagai salah satu tokoh intelektual Indonesia menjadi pengikutnya bahkan didaulat menjadi Ketua Yayasan Dimas Kanjeng. Ia adalah Marwah Daud Ibrahim.

Banyak orang bertanya-tanya apa benar Marwah menjadi pengikut Dimas Kanjeng. Saya pada awalnya meragukan berita ini. Namun setelah melihat rekaman wawancara salah satu televisi swasta dari kanal youtube, saya baru percaya bahwa memang benar Marwah adalah salah satu santri bahkan Ketua Yayasan Dimas Kanjeng. Beberapa media nasional baik online maupun televise menunjukkan profil Marwah secara gamblang bahwa Ia adalah anggota dewan pakar ICMI, lulusan PhD dari Amerika Serikat, pernah jadi anggota BPPT, dan bagian dari asosiasi penerima beasiswa Habibie. Profil yang disajikan ini seolah menegaskan bahwa Marwah adalah sosok yang sangat rasional secara background-nya memperlihatkan bahwa tidak ada celah baginya untuk bersikap tidak rasional dalam menghadapi suatu fenomena. Dalam kasus Dimas Kanjeng dimana Marwah percaya bahwa Dimas adalah seorang yang diberikan karomah oleh Tuhan dikonotasikan sebagai hal yang irasional yang menunjukkan kontradiksi antara latar belakang Marwah dan sikapnya sekarang. Di sini ada satu pertanyaan, apakah latar pendidikan dan karier adalah penyebab final atas pola pikir seseorang dalam menanggapai suatu fenomena di masa ini?
Hilangkan Dulu Rasional dan Irasional

Rasional dan irasional adalah label atas fenomena. Kita akan bisa berdebat panjang apakah kasus Dimas Kanjeng rasional atau tidak rasional. Marwah sendiri dalam suatu wawancara di salah satu media televisi nasional mengatakan bahwa karomah yang dimiliki Dimas Kanjeng itu rasional. Atas dasar inilah saya mengajukan satu poin untuk menunjukkan bagaimana kita menanggapi sikap yang diambil oleh Marwah. Satu poin yang saya maksud adalah proses pengambilan kesimpulan atas suatu fenomena. Dalam dunia akademik, kita diliatih untuk berhati-hati dalam menyimpulkan suatu persoalan, tidak ujug-ujug dengan tanda-tanda yang kita sudah anggap cukup lantas kita dapat memberikan kesimpulan bahwa fenomenanya seperti ini tidak bisa diganggu gugat. Perlu adanya pengecekan (validasi) apakah proses kita dalam mengumpulkan tanda-tanda itu sudah betul. Dalam matematika, salah satu cara pembuktian yang bisa dilakukan adalah dengan induksi.

Misalkan untuk angka 1 betul bagaimana dengan 1 juta, 1 milyar, 1 triliun, dan seterusnya ?. Ini jelas tidak mudah dan perlu cara untuk menagaskan bahwa suatu teorema ini betul dan dapat dibuktikan untuk semua bilangan bulat. Saya kira di fenomena sosial yang jauh lebih kompleks jelas diperlukan kehati-hatian yang lebih.

Dalam kasus Dimas Kanjeng, Marwah dalam kesaksiannya mengatakan bahwa dalam 1 tahun sebelumnya Ia lakukan istikharah, membaca aneka buku, dan bertanya-tanya terkait sosok Dimas Kanjeng. Marwah akhirnya mantab meyakini bahwa dalam diri Dimas terdapat semacam mukjizat (Ia mengatakan bahwa Dimas Kanjeng adalah wali Allah) setelah Ia menyaksikan langsung dengan mata kepalanya sendiri bahwa Dimas dapat melipatgandakan uang. Kembali ke poin penarikan kesimpulan, apakah proses visual dengan melihat langsung objek adalah langkah final untuk menyimpulkan suatu fenomena benar/salah ?. Dalam konteks budaya akademis yang saya fahami, saya katakan belum. Karena fokus penelitian ada pada Dimas Kanjeng, oleh karenanya yang perlu digali adalah sosok Dimas Kanjeng itu sendiri. Proses penggaliannya tidak cukup hanya dengan mengumpulkan dokumen dan bertanya pada pihak ketiga, namun harus dengan berinteraksi secara langsung dengan objek. Dalam kasus penggandaan uang, perlu diteliti apakah benar uang hasil pelipatgandaan keluar begitu saja setelah Dimas Kanjeng dan pengikutnya membacakan wirid dan tahlil. Apakah ini justru hanya permainan sihir, trik, atau justru penipuan ?.

Dalam paparan Marwah, saya tidak mendapatkan gambaran yang detail terkait sosok Dimas Kanjeng. Apalagi setelah Ia menegaskan sebagai bagian dari MUI, menjadi bagian dari ormas Muhammadiyah, dan pernah berinteraksi dengan Gus Dur dengan mengunjungi berbagai wali justru saya kira sebagai make up yang sama sekali tidak menjelaskan siapa sebenarnya Dimas Kanjeng. Itu justru seolah langkah berkilah terhadap apa yang telah disampaikan Marwah sebelumnya. Jika dikatakan bahwa Dimas Kanjeng memiliki karomah seperti halnya Sunan Bonang yang dapat mengubah daun menjadi emas, maka perlu ditanyakan terlebih dahulu apakah memang benar Sunan Bonang dapat melakukan itu. Setelah itu, ditelusuri karomah itu apa dan siapa saja yang pantas mendapatkan mukjizat itu. Setelah mengamati secara cermat sosok pribadi Dimas Kanjeng baru dapat disimpulkan apakah Ia layak mendapatkan karomah dari Allah.

Konsep Jejaring

Biarpun dunia akademik melatih pola pikir seseorang terhadap suatu fenomena tertentu, namun pola pikir seseorang dapat berubah menjadi sangat anti-akademik karena adanya pola interaksi. Interaksi ini sendiri tak terbatas pada manusia namun juga benda-benda lain baik hidup/mati yang dalam Actor-Network Theory (ANT) disebut artifak. ANT dikembangkan oleh Bruno Latour, Michael Callon, dan John Law pada 1980-an sebagai suatu teori di bidang sosiologi. Teori ini dapat menunjukkan bahwa keberadaan seseorang saat ini adalah karena relasi yang terus menerus dengan artifak. Satu tesis yang diajukan dalam teori ini adalah there is no group only group formation artinya tidak ada kelompok yang final namun yang ada adalah proses mengelompok. Melalui tesis itu saja sudah dapat meruntuhkan bahwa jenjang pendidikan dan karier yang pernah dicapai oleh Marwah tidak cukup untuk mendefinisikan Marwah hari ini. Sangat dimungkinkan bahwa interaksi Marwah dengan masyarakat luas, kaum non-akademik, buku agama yang bisa jadi sanadnya putus, atau orang-orang yang memberikan penjelasan terkait siapa Dimas Kanjeng, dan sebagainya telah mengubah pola-pikir Marwah yang berujung pada penarikan kesimpulan yang salah.

Dari kasus Marwah ini kita dapat menarik pelajaran setidaknya dua hal; (1) Penarikan kesimpulan itu harus dilakukan secara hati-hati dan harus melalui proses pengidentifikasian objek yang lengkap dengan selalu diikuti dengan pertanyaan mengapa (why?) yang meragukan kebenaran suatu fenomena (skeptic), (2) Jenjang pendidikan yang tinggi tidak secara otomatis menjadikan seseorang berfikir ilmiah, melainkan seiring berjalannya waktu pola pikir seseorang itu dapat berubah berdasarkan pola interaksi yang dialaminya selama ini dengan catatan Ia terus membuka diri.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.